UU
no.8/1999 : Perlindungan Konsumen
Menimbang:
·
bahwa
pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan
makmur yang merata material dan spiritual dalam era demokrasi ekonomi
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
·
bahwa
pembangunan perekonomian nasional pada era globalisasi harus dapat mendukung,
tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan / atau
jasa yang, memiliki kandungan teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan kepastian atas barang dan / atau
jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen
·
bahwa
semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses globilisasi
ekonomi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta
kepastian atas mutu, jumlah, dan keamanan barang dan/atau jasa yang
diperolehnya di pasar
·
bahwa
untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran,
pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi
dirinya serta menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggungjawab
·
bahwa
ketentuan hukum yang melindungi kepentingan konsumen di Indonesia belum memadai
·
bahwa
berdasarkan pertimbangan tersebut di atas diperlukan perangkat peraturan
perundang-undangan untuk mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan
konsumen dan pelaku usaha sehingga tercipta perekonomian yang sehat
·
bahwa
untuk itu perlu dibentuk Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen.
1. Hak-hak
konsumen
Sebagai
pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan
tentang hak-hak konsumen sangat penting agar orang bisa bertindak sebagai
konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya, jika ditengarai adanya tindakan
yang tidak adil terhadap dirinya, ia secara spontan menyadari akan hal itu.
Konsumen kemudian bisa bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak-haknya.
Dengan kata lain, ia tidak hanya tinggal diam saja ketika menyadari bahwa
hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.
Berdasarkan
UU Perlindungan konsumen pasal 4, hak-hak konsumen sebagai berikut :
·
Hak
atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa.
·
Hak
untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi
serta jaminan yang dijanjikan .
·
Hak
atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang/jasa.
·
Hak
untuk didengar pendapat keluhannya atas barang/jasa yang digunakan.
·
Hak
untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut.
·
Hak
untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
·
Hak
untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskrimainatif.
·
Hak
untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika barang/jasa
yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
·
Hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
PERBUATAN YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA
Ketentuan
mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha diatur dalam Pasal 8 –
17 UU PK. Ketentuan-ketentuan ini kemudian dapat dibagi kedalam 3
kelompok, yakni:
1. larangan
bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi (Pasal 8 )
2. larangan
bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran (Pasal 9 – 16)
3. larangan
bagi pelaku usaha periklanan (Pasal 17)
Ada
10 larangan bagi pelaku usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU PK,
yakni pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang
dan/atau jasa yang :
·
Tidak
memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
·
Tidak
sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan
sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
·
Tidak
sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut
ukuran yang sebenarnya;
·
Tidak
sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana
dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
·
Tidak
sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau
penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang
dan/atau jasa tersebut;
·
Tidak
sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau
promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
·
Tidak
mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang
paling baik atas barang tertentu;
·
Tidak
mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal”
yang dicantumkan dalam label.
·
Tidak
memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran,
berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat
sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan
yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat.
·
Tidak
mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa
Contoh
kasus :
“KASUS
SUSU FORMULA DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN”
Di
Indonesia, nasib perlindungan konsumen masih berjalan tertatih-tatih. Hal-hal
ini menyangkut kepentingan konsumen memang masih sangat miskin perhatian.
Setelah setahun menunggu, Kementerian Kesehatan akhirnya mengumumkan hasil
survei 47 merk susu formula bayi untuk usia 0-6 bulan. Hasil survei
menyimpulkan, tidak ditemukan bakteri Enterobacter Sakazakii.
Hasil ini berbeda dengan temuan
penelitian Institut Pertanian Bogor, yang menyebutkan, 22,73% susu formula
(dari 22 sampel), dan 40% makanan bayi (dari 15 sampel) yang dipasarkan April
hingga Juni 2006 terkontaminasi E. Sakazakii. Apa pun perbedaan yang tersaji
dari kedua survei tersebut, yang jelas kasus susu formula ini telah menguak
fakta laten dan manifes menyangkut perlindungan konsumen. Ini membuktikan bahwa
hal-hal menyangkut kepentingan (hukum) konsumen rupanya memang masih miskin
perhatian dalam tata hukum kita, apalagi peran konsumen dalam
pembangunan ekonomi.
Tanggung
Jawab Produk
Dalam
perlindungan konsumen sesungguhnya ada doktrin yang disebut strict product
liability, yakni tanggung jawab produk yang bertujuan untuk memberikan
perlindungan kepada konsumen. Ini dapat kita lihat dalam Pasal 22 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang mengatur bahwa
pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan menjadi beban dan tanggung
jawab pelaku usaha. Doktrin tersebut selaras dengan doktrin perbuatan melawan
hukum (pasal 1365
KUHPerdata) yang menyatakan, “Tiap per buatan
melanggar hukum yang membawa kerugian bagi orang lain, mewajibkan
orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian, mengganti kerugian tersebut.”
Doktrin tersebut selayaknya dapat diintroduksi dalam doktrin perbuatan melawan
hukum (tort) sebagaimana diatur dalam pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Seorang konsumen, apabila dirugikan dalam mengkonsumsi barang atau
jasa, dapat menggugat pihak yang menimbulkan kerugian. Pihak di sini
bisa berarti produsen/pabrik, supplier, pedagang besar, pedagang
eceran/penjual ataupun pihak yang memasarkan produk. Ini tergantung dari siapa
yang melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi
konsumen. Selama ini, kualifikasi gugatan yang masih digunakan di Indonesia
adalah wanprestasi (default).
Apabila ada hubungan kontraktual antara
konsumen dan pengusaha, kualifikasi gugatannya adalah wanprestasi. Jika gugatan
konsumen menggunakan kualifikasi perbuatan melawan hukum (tort), hubungan
kontraktual tidaklah diisyaratkan. Bila tidak, konsumen sebagai penggugat harus
membuktikan unsur-unsur seperti adanya perbuatan melawan hukum. Jadi, konsumen
dihadapkan pada beban pembuktian berat, karena harus membuktikan unsur melawan
hukum. Hal inilah yang dirasakan tidak adil oleh konsumen, karena yang tahu
proses produksinya adalah pelaku usahanya. Pelaku usahalah yang harus
membuktikan bahwa ia tidak lalai dalam proses produksinya. Untuk
membuktikan unsur "tidak lalai" perlu ada kriteria berdasarkan
ketentuan hukum administrasi negara tentang "Tata Cara Produksi Yang
Baik" yang dikeluarkan instansi atau departemen yang berwenang.
Kedigdayaan Produsen Berdasarkan prinsip
kesejajaran kedudukan antara pelaku usaha dan konsumen, hal itu mestinya tidak
dengan sendirinya membawa konsekuensi konsumen harus membuktikan semua unsur
perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu, terhadap doktrin perbuatan melawan
hukum dalam perkara konsumen,
seyogiannya
dilakukan "deregulasi" dengan menerapkan doktrin strict product
liability ke dalam donktrin perbuatan melawan hukum. Hal ini dapat dijumpai
landasan hukumnya dalam pasal 1504 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
menegaskan bahwa penjual bertanggung jawab adanya "cacat
tersembunyi" pada produk yang dijual. Menurut doktrin strict product
liability, tergugat dianggap telah bersalah (presumption of quality), kecuali
apabila ia mampu membuktikan bahwa ia tidak melakukan kelalaian/kesalahan.
Seandainya ia gagal membuktikan ketidaklalaiannya, maka ia harus memikul risiko
kerugian yang dialami pihak lain karena mengkonsumsi produknya. Doktrin
tersebut memang masih merupakan hal baru bagi Indonesia.
Kecuali Jepang, semua negara di Asia masih
memegang teguh prinsip konsumen harus membuktikan kelalaian pengusaha.
Sekalipun doktrin strict product liability belum dianut dalam tata hukum kita,
apabila perasaan hukum dan keadilan masyarakat menghendaki lain,
kiranya berdasarkan Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang No 14 Tahun 1970, hakim wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat
(living law) Walhasil, berkait kasus susu formula ada hal yang patut ditarik
pelajaran. Ternyata, selama ini yang masih terpampang adalah “kedigdayaan”
produsen atau pelaku usaha termasuk pengambil kebijakan. Terlihat, pihak-pihak
terkait bersikap defensif dengan seolah menantang konsumen yang merasa
dirugikan untuk membuktikan unsur “ada/tidaknya kelalaian/ kesalahan” terhadap
sebuah produk. Padahal, pihak-pihak berwenanglah yang harus
ANALISIS
Berdasarkan studi kasus diatas, perlindungan
konsumen di Indonesia masih sangat lemah. Hal ini terlihat ketika Kementerian
Kesehatan baru mengumumkan setelah setahun lamanya para konsumen susu formula
bayi ingin mengetahui fakta bahwa susu formula bayi untuk usia 0-6 bulan
tersebut apakah mengandung bakteri Enterobacter Sakazakii atau tidak. Namun
fakta yang diumumkan oleh Kementerian Kesehatan tidak sesuai dengan hasil penelitian
dari temuan peneliti Institut Pertanian Bogor, yang menyebutkan 22,73% susu
formula (dari 22 sampel), dan 40% makanan bayi (dari 15 sampel) yang dipasarkan
April hingga Juni 2006 terkontaminasi E. Sakazakii
Apa pun perbedaan yang tersaji dari kedua
survei tersebut, yang jelas kasus susu formula ini telah menguak fakta laten
dan manifes menyangkut perlindungan konsumen.
Ini membuktikan bahwa hal-hal menyangkut
kepentingan (hukum) konsumen rupanya memang masih miskin perhatian dalam tata
hukum kita, apalagi peran konsumen dalam pembangunan ekonomi. Dalam
perlindungan konsumen sesungguhnya ada doktrin yang disebut strict product
liability, yakni tanggung jawab produk yang bertujuan untuk memberikan
perlindungan kepada konsumen. Ini dapat kita lihat dalam Pasal 22 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang mengatur bahwa
pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan menjadi beban dan tanggung
jawab pelaku usaha. Seorang konsumen, apabila dirugikan dalam mengkonsumsi
barang atau jasa, dapat menggugat pihak yang menimbulkan kerugian. Pihak di
sini bisa berarti produsen/pabrik, supplier, pedagang besar, pedagang
eceran/penjual ataupun pihak yang memasarkan produk. Ini tergantung dari siapa
yang melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi
konsumen.
Sumber :
0 komentar:
Posting Komentar