UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.19 TAHUN 2008
TENTANG SURAT BERHARGA SYARIAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa strategi dan kebijakan
pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat adil, makmur, dan sejahtera
serta untuk memulihkan sektor ekonomi, perlu disertai dengan upaya pengelolaan
keuangan negara secara optimal melalui peningkatan efisiensi dalam pengelolaan
barang milik negara dan sumber pembiayaan anggaran negara; b. bahwa dalam
rangka pengelolaan keuangan negara untuk meningkatkan daya dukung Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dalam menggerakkan perekonomian nasional secara
berkesinambungan, diperlukan pengembangan berbagai instrumen keuangan yang
mampu memobilisasi dana publik secara luas dengan memperhatikan nilai-nilai
ekonomi, sosial dan budaya yang berkembang dalam masyarakat; c. bahwa potensi
sumber pembiayaan pembangunan nasional yang menggunakan instrumen keuangan
berbasis syariah yang memiliki peluang besar belum dimanfaatkan secara optimal;
d. bahwa sektor ekonomi dan keuangan syariah perlu ditumbuhkembangkan melalui
pengembangan instrumen keuangan syariah sebagai bagian dari sistem perekonomian
nasional dalam rangka peningkatan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia; e. bahwa instrumen keuangan berdasarkan prinsip syariah mempunyai
karakteristik yang berbeda dengan instrumen keuangan konvensional, sehingga
perlu pengelolaan dan pengaturan secara khusus, baik yang menyangkut instrumen
maupun perangkat hukum yang diperlukan; f. bahwa … - 2 - f. bahwa berdasarkan
pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan
huruf e, perlu membentuk Undang-Undang tentang Surat Berharga Syariah Negara;
Mengingat: Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 20A ayat
(1), Pasal 23, dan Pasal 23C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG SURAT
BERHARGA SYARIAH NEGARA
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1 Dalam
Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Surat Berharga Syariah Negara
selanjutnya disingkat SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah surat
berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti
atas bagian penyertaan terhadap Aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun
valuta asing. 2. Perusahaan Penerbit SBSN adalah badan hukum yang didirikan
berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini untuk melaksanakan kegiatan penerbitan
SBSN. 3. Aset SBSN adalah objek pembiayaan SBSN dan/atau Barang Milik Negara
yang memiliki nilai ekonomis, berupa tanah dan/atau bangunan maupun selain
tanah dan/atau bangunan, yang dalam rangka penerbitan SBSN dijadikan sebagai
dasar penerbitan SBSN. 4. Barang … - 3 - 4. Barang Milik Negara adalah semua
barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. 5. Akad adalah perjanjian
tertulis yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. 6. Ijarah adalah Akad yang satu pihak bertindak
sendiri atau melalui wakilnya menyewakan hak atas suatu aset kepada pihak lain
berdasarkan harga sewa dan periode sewa yang disepakati. 7. Mudarabah adalah
Akad kerja sama antara dua pihak atau lebih, yaitu satu pihak sebagai penyedia
modal dan pihak lain sebagai penyedia tenaga dan keahlian, keuntungan dari
kerjasama tersebut akan dibagi berdasarkan nisbah yang telah disetujui
sebelumnya, sedangkan kerugian yang terjadi akan ditanggung sepenuhnya oleh
pihak penyedia modal, kecuali kerugian disebabkan oleh kelalaian penyedia
tenaga dan keahlian. 8. Musyarakah adalah Akad kerja sama antara dua pihak atau
lebih untuk menggabungkan modal, baik dalam bentuk uang maupun bentuk lainnya,
dengan tujuan memperoleh keuntungan, yang akan dibagikan sesuai dengan nisbah
yang telah disepakati sebelumnya, sedangkan kerugian yang timbul akan
ditanggung bersama sesuai dengan jumlah partisipasi modal masing-masing pihak.
9. Istishna’ adalah Akad jual beli aset berupa obyek pembiayaan antara para
pihak dimana spesifikasi, cara dan jangka waktu penyerahan, serta harga aset
tersebut ditentukan berdasarkan kesepakatan para pihak. 10. Imbalan adalah
pembayaran yang dapat berupa sewa, bagi hasil atau margin, atau bentuk
pembayaran lainnya sesuai dengan Akad penerbitan SBSN, yang diberikan kepada
pemegang SBSN sampai dengan berakhirnya periode SBSN. 11. Pemerintah adalah
Pemerintah Pusat Republik Indonesia. 12. Menteri adalah Menteri Keuangan
Republik Indonesia. 13. Pasar Perdana adalah kegiatan penawaran dan penjualan
SBSN baik di dalam maupun di luar negeri untuk pertama kalinya. 14. Pasar
Sekunder adalah kegiatan perdagangan SBSN yang telah dijual di Pasar Perdana
baik di dalam maupun di luar negeri. 15. Nilai … - 4 - 15. Nilai Nominal adalah
nilai SBSN yang tercantum dalam sertifikat SBSN. 16. Hak Manfaat adalah hak
untuk memiliki dan mendapatkan hak penuh atas pemanfaatan suatu aset tanpa
perlu dilakukan pendaftaran atas kepemilikan dan hak tersebut. 17. Wali Amanat
adalah pihak yang mewakili kepentingan pemegang SBSN sesuai dengan yang diperjanjikan.
18. Nilai Bersih Maksimal Surat Berharga Negara adalah tambahan atas jumlah
Surat Berharga Negara yang telah beredar dalam satu tahun anggaran, yang
merupakan selisih antara jumlah Surat Berharga Negara yang akan diterbitkan
dengan jumlah Surat Berharga Negara yang jatuh tempo dan/atau yang dibeli
kembali oleh Pemerintah. 19. Surat Utang Negara adalah surat berharga yang
berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang
dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia sesuai
dengan masa berlakunya. 20. Surat Berharga Negara adalah Surat Utang Negara dan
SBSN. 21. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau Korporasi. 22. Korporasi
adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan
hukum maupun bukan badan hukum.
BAB II BENTUK DAN JENIS SURAT BERHARGA SYARIAH
NEGARA
Pasal 2 (1)
SBSN diterbitkan dalam bentuk warkat atau tanpa warkat. (2) SBSN sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diperdagangkan atau tidak diperdagangkan di Pasar
Sekunder. Pasal 3 … - 5 - Pasal 3 SBSN dapat berupa: a. SBSN Ijarah, yang
diterbitkan berdasarkan Akad Ijarah; b. SBSN Mudarabah, yang diterbitkan
berdasarkan Akad Mudarabah; c. SBSN Musyarakah, yang diterbitkan berdasarkan
Akad Musyarakah; d. SBSN Istishna’, yang diterbitkan berdasarkan Akad
Istishna’; e. SBSN yang diterbitkan berdasarkan Akad lainnya sepanjang tidak
bertentangan dengan prinsip syariah; dan f. SBSN yang diterbitkan berdasarkan
kombinasi dari dua atau lebih dari Akad sebagaimana dimaksud pada huruf a
sampai dengan huruf e
BAB III TUJUAN PENERBITAN SURAT BERHARGA SYARIAH
NEGARA
Pasal 4 SBSN
diterbitkan dengan tujuan untuk membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara termasuk membiayai pembangunan proyek.
BAB IV
KEWENANGAN DAN PELAKSANAAN PENERBITAN SURAT BERHARGA SYARIAH NEGARA
Pasal 5 (1)
Kewenangan menerbitkan SBSN untuk tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
berada pada Pemerintah. (2) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh Menteri. Pasal 6 … - 6 - Pasal 6 (1) Penerbitan SBSN dapat
dilaksanakan secara langsung oleh Pemerintah atau melalui Perusahaan Penerbit
SBSN. (2) SBSN yang dapat diterbitkan baik oleh Pemerintah maupun Perusahaan
Penerbit SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah semua jenis SBSN
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. (3) Penerbitan SBSN yang dilakukan melalui
Perusahaan Penerbit SBSN ditetapkan oleh Menteri. Pasal 7 (1) Dalam hal akan
dilakukan penerbitan SBSN untuk tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4,
Menteri terlebih dahulu berkoordinasi dengan Bank Indonesia. (2) Khusus untuk
penerbitan SBSN dalam rangka pembiayaan proyek, Menteri berkoordinasi dengan
menteri yang bertanggung jawab di bidang perencanaan pembangunan nasional.
Pasal 8 (1) Penerbitan SBSN harus terlebih dahulu mendapat persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat pada saat pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
yang diperhitungkan sebagai bagian dari Nilai Bersih Maksimal Surat Berharga
Negara yang akan diterbitkan oleh Pemerintah dalam satu tahun anggaran. (2)
Menteri berwenang menetapkan komposisi Surat Berharga Negara dalam rupiah
maupun valuta asing, serta menetapkan komposisi Surat Berharga Negara dalam
bentuk Surat Utang Negara maupun SBSN dan hal-hal lain yang diperlukan untuk
menjamin penerbitan Surat Berharga Negara secara hati-hati. (3) Dalam hal-hal
tertentu, SBSN dapat diterbitkan melebihi Nilai Bersih Maksimal yang telah
disetujui Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang
selanjutnya dilaporkan sebagai Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran tahun yang bersangkutan.
Pasal 9 … - 7 - Pasal 9 (1) Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) termasuk pembayaran semua kewajiban Imbalan dan
Nilai Nominal yang timbul sebagai akibat penerbitan SBSN dimaksud serta Barang
Milik Negara yang akan dijadikan sebagai Aset SBSN. (2) Pemerintah wajib
membayar Imbalan dan Nilai Nominal setiap SBSN, baik yang diterbitkan secara
langsung oleh Pemerintah maupun Perusahaan Penerbit SBSN, sesuai dengan
ketentuan dalam Akad penerbitan SBSN. (3) Dana untuk membayar Imbalan dan Nilai
Nominal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disediakan dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara setiap tahun sampai dengan berakhirnya kewajiban tersebut.
(4) Dalam hal pembayaran kewajiban Imbalan dan Nilai Nominal dimaksud melebihi
perkiraan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah melakukan
pembayaran dan menyampaikan realisasi pembayaran tersebut kepada Dewan
Perwakilan Rakyat dalam pembahasan Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara. (5) Semua kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4) dilakukan secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.
BAB V
PENGGUNAAN BARANG MILIK NEGARA DALAM RANGKA PENERBITAN SURAT BERHARGA SYARIAH
NEGARA
Pasal 10 (1) Barang Milik Negara dapat digunakan
sebagai dasar penerbitan SBSN, yang untuk selanjutnya Barang Milik Negara
dimaksud disebut sebagai Aset SBSN. (2) Aset SBSN sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat berupa: a. tanah … - 8 - a. tanah dan/atau bangunan; dan b.
selain tanah dan/atau bangunan. (3) Jenis, nilai, dan spesifikasi Barang Milik
Negara yang akan digunakan sebagai Aset SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan oleh Menteri. Pasal 11 (1) Penggunaan Barang Milik Negara sebagai
Aset SBSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dilakukan Menteri dengan
cara menjual atau menyewakan Hak Manfaat atas Barang Milik Negara atau cara
lain yang sesuai dengan Akad yang digunakan dalam rangka penerbitan SBSN. (2)
Aset SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disewa kembali oleh Menteri
berdasarkan suatu Akad. (3) Dalam hal Barang Milik Negara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (1) sedang digunakan oleh instansi Pemerintah dan akan
digunakan sebagai Aset SBSN, Menteri terlebih dahulu memberitahukan kepada
instansi Pemerintah pengguna Barang Milik Negara. (4) Jangka waktu penyewaan
Aset SBSN oleh Pemerintah kepada Perusahaan Penerbit SBSN sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan paling lama 60 (enam puluh) tahun. Pasal 12 (1)
Menteri wajib membeli kembali Aset SBSN, membatalkan Akad sewa, dan mengakhiri
Akad penerbitan SBSN lainnya pada saat SBSN jatuh tempo. (2) Dalam rangka
pembelian kembali Aset SBSN, pembatalan Akad sewa dan pengakhiran Akad
penerbitan SBSN lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri membayar
nilai nominal SBSN atau kewajiban pembayaran lain sesuai Akad penerbitan SBSN
kepada pemegang SBSN. BAB VI … - 9 –
BAB VI PERUSAHAAN PENERBIT SURAT BERHARGA SYARIAH
NEGARA DAN WALI AMANAT
Pasal 13 (1)
Dalam rangka penerbitan SBSN, Pemerintah dapat mendirikan Perusahaan Penerbit
SBSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1). (2) Perusahaan Penerbit SBSN
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan badan hukum yang dibentuk
berdasarkan Undang-Undang ini. (3) Perusahaan Penerbit SBSN sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah badan hukum yang berkedudukan di dalam wilayah
hukum Negara Republik Indonesia. (4) Perusahaan Penerbit SBSN bertanggung jawab
kepada Menteri. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendirian, organ,
permodalan, fungsi, dan pertanggungjawaban Perusahaan Penerbit SBSN diatur
dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 14 (1) Menteri menunjuk langsung pihak lain
sebagai Wali Amanat, dalam hal SBSN diterbitkan secara langsung oleh
Pemerintah. (2) Perusahaan Penerbit SBSN bertindak sebagai Wali Amanat bagi
pemegang SBSN, dalam hal SBSN diterbitkan oleh Perusahaan Penerbit SBSN. (3)
Perusahaan Penerbit SBSN dapat menunjuk pihak lain dengan persetujuan Menteri
untuk membantu melaksanakan fungsi Wali Amanat sebagaimana dimaksud pada ayat
(2). Pasal 15 Wali Amanat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 memiliki tugas,
antara lain: a. melakukan … - 10 - a. melakukan perikatan dengan pihak lain
untuk kepentingan pemegang SBSN; b. mengawasi aset SBSN untuk kepentingan
pemegang SBSN; dan c. mewakili kepentingan lain pemegang SBSN, terkait dengan
perikatan dalam rangka penerbitan SBSN. Pasal 16 Perusahaan Penerbit SBSN dan
pihak lain yang ditunjuk sebagai Wali Amanat wajib memisahkan Aset SBSN dari
kekayaan perusahaan untuk kepentingan pemegang SBSN. Pasal 17 Dalam
melaksanakan fungsi sebagai Wali Amanat, Perusahaan Penerbit SBSN harus menjaga
kepentingan pemegang SBSN.
BAB VII PENGELOLAAN SURAT BERHARGA SYARIAH NEGARA
Pasal 18 (1) Pengelolaan SBSN baik yang diterbitkan
secara langsung oleh Pemerintah maupun melalui Perusahaan Penerbit SBSN
diselenggarakan oleh Menteri. (2) Pengelolaan SBSN sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), antara lain, meliputi: a. penetapan strategi dan kebijakan
pengelolaan SBSN termasuk kebijakan pengendalian risiko; b. perencanaan dan
penetapan struktur portofolio SBSN; c. penerbitan SBSN; d. penjualan SBSN
melalui lelang dan/atau tanpa lelang; e. pembelian kembali SBSN sebelum jatuh
tempo; f. pelunasan … - 11 - f. pelunasan SBSN; dan g. aktivitas lain dalam
rangka pengembangan Pasar Perdana dan Pasar Sekunder SBSN. (3) Pengelolaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan bagian dari pengelolaan Surat
Berharga Negara secara keseluruhan. Pasal 19 (1) Dalam rangka mendukung
penyelenggaraan pengelolaan SBSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Menteri
membuka rekening yang merupakan bagian dari Rekening Kas Umum Negara. (2) Tata
cara pembukaan dan pengelolaan rekening sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Menteri. Pasal 20 SBSN wajib mencantumkan ketentuan dan syarat
yang mengatur, antara lain, mengenai: a. penerbit; b. Nilai Nominal; c. tanggal
penerbitan; d. tanggal jatuh tempo; e. tanggal pembayaran Imbalan; f. besaran
atau nisbah Imbalan; g. frekuensi pembayaran Imbalan; h. cara perhitungan
pembayaran Imbalan; i. jenis mata uang atau denominasi; j. jenis Barang Milik
Negara yang dijadikan Aset SBSN; k. penggunaan ketentuan hukum yang berlaku; l.
ketentuan tentang hak untuk membeli kembali SBSN sebelum jatuh tempo; dan m.
ketentuan tentang pengalihan kepemilikan. Pasal 21 … - 12 - Pasal 21 (1) Dalam
hal SBSN diterbitkan di dalam negeri, Menteri menunjuk Bank Indonesia sebagai
agen penata usaha untuk melaksanakan kegiatan penatausahaan yang mencakup
antara lain kegiatan pencatatan kepemilikan, kliring, dan setelmen SBSN, baik
dalam hal SBSN diterbitkan secara langsung oleh Pemerintah maupun yang
diterbitkan melalui Perusahaan Penerbit SBSN. (2) Menteri dapat meminta Bank
Indonesia untuk menunjuk pihak lain sebagai agen penata usaha untuk
melaksanakan kegiatan penatausahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3)
Dalam hal SBSN diterbitkan di luar negeri, Menteri menunjuk Bank Indonesia atau
pihak lain sebagai agen penata usaha untuk melaksanakan kegiatan penatausahaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Dalam menyelenggarakan kegiatan
penatausahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia atau pihak
lain yang ditunjuk wajib membuat laporan pertanggungjawaban kepada Pemerintah.
Pasal 22 (1) Menteri menunjuk Bank Indonesia atau pihak lain sebagai agen
pembayar, baik dalam hal SBSN diterbitkan secara langsung oleh Pemerintah
maupun yang diterbitkan melalui Perusahaan Penerbit SBSN. (2) Menteri dapat
menunjuk pihak lain sebagai agen pembayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dengan terlebih dahulu berkoordinasi dengan Bank Indonesia. (3) Kegiatan agen
pembayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), antara lain,
meliputi: a. menerima Imbalan dan/atau Nilai Nominal SBSN dari pemerintah; dan
b. membayarkan Imbalan dan/atau Nilai Nominal SBSN sebagaimana dimaksud pada
huruf a kepada pemegang SBSN. Pasal 23 … - 13 - Pasal 23 Menteri dapat menunjuk
Bank Indonesia sebagai agen lelang SBSN, baik yang diterbitkan secara langsung
oleh Pemerintah maupun melalui Perusahaan Penerbit SBSN. Pasal 24 Menteri
menetapkan ketentuan mengenai penerbitan dan penjualan SBSN dengan Peraturan
Menteri. Pasal 25 Dalam rangka penerbitan SBSN, Menteri meminta fatwa atau
pernyataan kesesuaian SBSN terhadap prinsip-prinsip syariah dari lembaga yang
memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Pasal 26
Pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan perdagangan SBSN dilakukan oleh
otoritas yang melakukan pengaturan dan pengawasan di bidang pasar modal.
BAB VIII AKUNTABILITAS DAN TRANSPARANSI
Pasal 27 (1)
Menteri wajib menyelenggarakan penatausahaan dan membuat pertanggungjawaban
atas pengelolaan SBSN. (2) Pertanggungjawaban … - 14 - (2) Pertanggungjawaban
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan sebagai bagian dari
pertanggungjawaban pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun
yang bersangkutan. Pasal 28 Menteri wajib secara berkala memublikasikan
informasi tentang: a. kebijakan pengelolaan SBSN dan rencana penerbitan SBSN
yang meliputi perkiraan jumlah dan jadwal waktu penerbitan; dan b. jumlah SBSN
yang beredar beserta komposisinya, termasuk jenis valuta, struktur jatuh tempo,
dan besaran Imbalan. Pasal 29 Dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsinya,
otoritas yang melakukan pengaturan dan pengawasan di bidang pasar modal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 berwenang memperoleh data dan informasi
mengenai SBSN secara langsung dari Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk
sebagai agen penata usaha SBSN
BAB IX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 30 (1)
Setiap Orang yang meniru, membuat palsu, atau memalsukan SBSN dengan maksud
memperdagangkan SBSN tiruan, palsu, atau dipalsukan dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling
banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah). (2) Setiap … - 15 - (2)
Setiap Orang dengan sengaja tanpa wewenang menerbitkan SBSN berdasarkan
Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) dan paling banyak
Rp40.000.000.000,00 (empat puluh miliar rupiah). Pasal 31 (1) Dalam hal tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dilakukan oleh Korporasi maka tuntutan
pidana ditujukan kepada: a. Korporasi; dan/atau b. orang yang melakukan atau
memberikan perintah baik sendiri atau bersama-sama untuk melakukan tindak
pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pimpinan atau melalaikan
pencegahannya. (2) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap Korporasi,
pidana pokok yang dijatuhkan hanya berupa pidana denda yang besarnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) atau ayat (2) ditambah 1/3 (satu
pertiga) dari pidana denda dimaksud. (3) Selain pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) Korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan izin
usahanya.
BAB X KETENTUAN PENUTUP
Pasal 32 Undang-Undang ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan. Agar … - 16 - Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 7 Mei 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di
Jakarta pada tanggal 7 Mei 2008 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK
INDONESIA, ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR
70 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG
SURAT BERHARGA SYARIAH NEGARA I. UMUM Keberhasilan pelaksanaan program
pembangunan nasional dalam mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan
sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 perlu disertai dengan, antara lain, upaya pengelolaan
keuangan negara secara optimal. Hal tersebut dapat dicapai melalui peningkatan
efisiensi dalam pengelolaan aset negara dan pengembangan sumber pembiayaan
anggaran negara, guna meningkatkan daya dukung Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara dalam menggerakkan pembangunan sektor ekonomi secara berkesinambungan.
Pengembangan berbagai alternatif instrumen pembiayaan anggaran negara,
khususnya instrumen pembiayaan yang berdasarkan prinsip syariah guna
memobilisasi dana publik secara luas perlu segera dilaksanakan. Instrumen
keuangan yang akan diterbitkan harus sesuai dengan prinsip-prinsip syariah,
memberikan kepastian hukum, transparan, dan akuntabel. Upaya pengembangan
instrumen pembiayaan berdasarkan prinsip syariah tersebut, antara lain,
bertujuan untuk: (1) memperkuat dan meningkatkan peran sistem keuangan berbasis
syariah di dalam negeri; (2) memperluas basis pembiayaan anggaran negara; (3)
menciptakan benchmark instrumen keuangan syariah baik di pasar keuangan syariah
domestik maupun internasional; (4) memperluas dan mendiversifikasi basis
investor; (5) mengembangkan alternatif instrumen investasi baik bagi investor
dalam negeri maupun luar negeri yang mencari instrumen keuangan berbasis
syariah; dan (6) mendorong pertumbuhan pasar keuangan syariah di Indonesia.
Konsep keuangan Islam didasarkan pada prinsip moralitas dan keadilan. Oleh
karena itu, sesuai dengan dasar operasionalnya yakni syariah Islam yang
bersumber dari Al Qur’an dan Hadist serta Ijma, instrumen pembiayaan syariah
harus selaras dan memenuhi prinsip syariah, yaitu antara lain transaksi yang
dilakukan oleh para pihak harus bersifat adil, halal, thayyib, dan maslahat.
Selain itu, transaksi dalam keuangan Islam sesuai dengan syariah harus terbebas
dari unsur larangan berikut: (1) Riba, yaitu … - 2 - yaitu unsur bunga atau
return yang diperoleh dari penggunaan uang untuk mendapatkan uang (money for
money); (2) Maysir, yaitu unsur spekulasi, judi, dan sikap untung-untungan; dan
(3) Gharar, yaitu unsur ketidakpastian yang antara lain terkait dengan
penyerahan, kualitas, kuantitas, dan sebagainya. Karakteristik lain dari
penerbitan instrumen keuangan syariah yaitu memerlukan adanya transaksi
pendukung (underlying transaction), yang tata cara dan mekanismenya bersifat
khusus dan berbeda dengan transaksi keuangan pada umumnya. Oleh karena itu,
mengingat instrumen keuangan berdasarkan prinsip syariah sangat berbeda dengan
instrumen keuangan konvensional, untuk keperluan penerbitan instrumen
pembiayaan syariah tersebut perlu adanya pengaturan secara khusus, baik yang
menyangkut instrumen maupun perangkat yang diperlukan. Salah satu bentuk
instrumen keuangan syariah yang telah banyak diterbitkan baik oleh Korporasi
maupun negara adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah, atau secara
internasional dikenal dengan istilah Sukuk. Instrumen keuangan syariah ini
berbeda dengan surat berharga konvensional. Perbedaan yang prinsip antara lain
surat berharga berdasarkan prinsip syariah menggunakan konsep Imbalan bukan bunga
sebagaimana dikenal dalam instrumen keuangan konvensional dan diperlukannya
sejumlah tertentu aset yang digunakan sebagai dasar untuk melakukan transaksi
dengan menggunakan Akad berdasarkan prinsip syariah. Metode atau struktur
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah pada dasarnya mengikuti Akad yang
digunakan dalam melakukan transaksi. Beberapa jenis Akad yang dapat digunakan
dalam penerbitan surat berharga syariah, antara lain, meliputi Ijarah,
Mudarabah, Musyarakah, Istishna’, dan Akad lain yang tidak bertentangan dengan
prinsip syariah, serta kombinasi dari dua atau lebih dari Akad tersebut.
Sejalan dengan semakin meluasnya penggunaan prinsip syariah di pasar keuangan
dalam dan luar negeri, yang ditandai dengan semakin banyaknya negara yang
menerbitkan instrumen pembiayaan berbasis syariah dan semakin meningkatnya
jumlah investor dalam instrumen keuangan syariah, Indonesia perlu memanfaatkan
momentum melalui penerbitan SBSN baik di pasar domestik maupun di pasar
internasional sebagai alternatif sumber pembiayaan. Hal tersebut sejalan dengan
semakin terbatasnya daya dukung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk
menggerakkan pembangunan sektor ekonomi secara berkesinambungan dan belum
optimalnya pemanfaatan instrumen pembiayaan lainnya. Dengan bertambahnya
instrumen Surat Berharga Negara yang terdiri dari Surat Utang Negara dan SBSN,
diharapkan kemampuan Pemerintah dalam pengelolaan anggaran negara terutama dari
sisi pembiayaan akan semakin meningkat. Selain itu, adanya SBSN akan dapat
memenuhi kebutuhan portofolio investasi lembaga keuangan syariah antara lain
perbankan syariah, reksadana syariah, dan asuransi syariah. Dengan bertambahnya
jumlah … - 3 - jumlah instrumen keuangan berdasarkan prinsip syariah,
diharapkan akan mendorong pertumbuhan lembaga keuangan syariah di dalam negeri.
Sejalan dengan itu, dalam rangka memberikan dasar hukum penerbitan instrumen
keuangan berdasarkan prinsip syariah dan untuk mendukung perkembangan pasar
keuangan syariah khususnya di dalam negeri, perlu dilakukan penyusunan
Undang-Undang tentang Surat Berharga Syariah Negara, yang mengatur secara
khusus mengenai penerbitan dan pengelolaan SBSN. SBSN ini merupakan surat
berharga dalam mata uang rupiah maupun valuta asing berdasarkan prinsip syariah
yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia, baik dilaksanakan secara
langsung oleh Pemerintah atau melalui Perusahaan Penerbit SBSN, sebagai bukti
atas bagian penyertaan terhadap Aset SBSN, serta wajib dibayar atau dijamin
pembayaran Imbalan dan Nilai Nominalnya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai
dengan ketentuan perjanjian yang mengatur penerbitan SBSN tersebut.
Undang-Undang tentang Surat Berharga Syariah Negara ini secara garis besar
mengatur hal-hal sebagai berikut: a. transparansi pengelolaan SBSN dalam
kerangka kebijakan fiskal dan kebijakan pengembangan pasar SBSN dengan mengatur
lebih lanjut tujuan penerbitannya dan jenis Akad yang digunakan; b. kewenangan
Pemerintah untuk menerbitkan SBSN, baik dilakukan secara langsung oleh
Pemerintah yang didelegasikan kepada Menteri, ataupun dilaksanakan melalui
Perusahaan Penerbit SBSN; c. kewenangan Pemerintah untuk menggunakan Barang
Milik Negara sebagai dasar penerbitan SBSN (underlying asset); d. kewenangan
Pemerintah untuk mendirikan dan menetapkan tugas badan hukum yang akan
melaksanakan fungsi sebagai Perusahaan Penerbit SBSN; e. kewenangan Wali Amanat
untuk bertindak mewakili kepentingan Pemegang SBSN; f. kewenangan Pemerintah
untuk membayar semua kewajiban yang timbul dari penerbitan SBSN, baik yang
diterbitkan secara langsung oleh Pemerintah maupun melalui Perusahaan Penerbit
SBSN, secara penuh dan tepat waktu sampai berakhirnya kewajiban tersebut; dan
g. landasan hukum bagi pengaturan lebih lanjut atas tata cara dan mekanisme
penerbitan SBSN di Pasar Perdana maupun perdagangan SBSN di Pasar Sekunder agar
pemodal memperoleh kepastian untuk memiliki dan memperdagangkan SBSN secara
mudah dan aman. II. PASAL … - 4 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas.
Pasal 2 Ayat (1) SBSN dengan warkat adalah surat berharga berdasarkan prinsip
syariah yang kepemilikannya berupa sertifikat baik atas nama maupun atas unjuk.
Sertifikat atas nama adalah sertifikat yang nama pemiliknya tercantum,
sedangkan sertifikat atas unjuk adalah sertifikat yang tidak mencantumkan nama
pemilik sehingga Setiap Orang yang menguasainya adalah pemilik yang sah. SBSN
tanpa warkat atau scripless adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah
yang kepemilikannya dicatat secara elektronik (book-entry system). Dalam hal
SBSN tanpa warkat, bukti kepemilikan yang otentik dan sah adalah pencatatan
kepemilikan secara elektronis. Cara pencatatan secara elektronis dimaksudkan
agar pengadministrasian data kepemilikan (registry) dan penyelesaian transaksi
perdagangan SBSN di Pasar Sekunder dapat diselenggarakan secara efisien, cepat,
aman, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Ayat (2) SBSN yang
diperdagangkan adalah SBSN yang diperjualbelikan di Pasar Sekunder baik di
dalam maupun di luar negeri. Perdagangan dapat dilakukan melalui bursa dan/atau
di luar bursa yang biasa disebut over the counter (OTC). SBSN yang tidak
diperdagangkan adalah (1) SBSN yang tidak dapat diperjualbelikan di Pasar
Sekunder dan biasanya diterbitkan secara khusus untuk pemodal institusi
tertentu, baik domestik maupun asing, yang berminat untuk memiliki SBSN sesuai
dengan kebutuhan spesifik dari portofolio investasinya dan (2) SBSN yang karena
sifat Akad penerbitannya tidak dapat diperdagangkan. Pasal 3 Huruf a Cukup
jelas. Huruf b … - 5 - Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup
jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Kombinasi Akad SBSN antara lain dapat
dilakukan antara Mudarabah dengan Ijarah, Musyarakah dengan Ijarah, dan
Istishna’ dengan Ijarah. Pasal 4 Yang dimaksud dengan “membiayai pembangunan
proyek” adalah membiayai pembangunan proyek-proyek yang telah mendapatkan
alokasi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, termasuk proyek
infrastruktur dalam sektor energi, telekomunikasi, perhubungan, pertanian,
industri manufaktur, dan perumahan rakyat. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat
(1) Penerbitan SBSN baik secara langsung oleh Pemerintah maupun melalui
Perusahaan Penerbit SBSN dimaksud dilakukan untuk kepentingan Negara Republik
Indonesia. Dalam pelaksanaannya, penerbitan SBSN tersebut dapat dilakukan di
dalam negeri maupun luar negeri. Penerbitan SBSN oleh Perusahaan Penerbit SBSN
dilakukan hanya dalam hal struktur SBSN memerlukan adanya Special Purpose
Vehicle (SPV). Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) … - 6 - Ayat (3) Menteri
menetapkan segala hal yang berkaitan dengan kebijakan penerbitan SBSN, antara
lain jumlah target indikatif penerbitan, tanggal penerbitan, metode penerbitan,
denominasi, struktur Akad, pricing, dan hal-hal lain yang termuat dalam
ketentuan dan syarat (terms and conditions) SBSN. Dengan demikian, kewenangan
Perusahaan Penerbit SBSN hanya terbatas untuk menerbitkan SBSN. Pasal 7 Ayat
(1) Pemerintah mengadakan koordinasi dengan Bank Indonesia pada awal tahun saat
merencanakan penerbitan SBSN, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
rencana penerbitan Surat Berharga Negara untuk satu tahun anggaran. Koordinasi
ini dimaksudkan untuk mengevaluasi implikasi moneter dari penerbitan Surat
Berharga Negara, agar keselarasan antara kebijakan fiskal, termasuk manajemen
utang, dan kebijakan moneter dapat tercapai. Pendapat Bank Indonesia tersebut
menjadi masukan di dalam pengambilan keputusan oleh Pemerintah agar penerbitan
Surat Berharga Negara dimaksud dapat dilakukan tepat waktu dan dilakukan dengan
persyaratan yang dapat diterima pasar serta memberikan manfaat bagi Pemerintah
dan masyarakat. Ayat (2) Koordinasi dengan menteri yang bertanggung jawab di
bidang perencanaan pembangunan nasional antara lain meliputi jenis, nilai, dan
waktu pelaksanaan proyek. Proyek yang akan dibiayai merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari program Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Pasal 8 Ayat
(1) Persetujuan tersebut didahului dengan mengajukan rencana penerbitan dan
pelunasan dan/atau pembelian kembali yang disampaikan bersamaan dengan
penyampaian Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,
kepada Dewan Perwakilan Rakyat yang dalam hal ini adalah alat kelengkapan Dewan
Perwakilan Rakyat yang membidangi keuangan, untuk mendapatkan persetujuan. Ayat
(2) Cukup jelas. Ayat (3) … - 7 - Ayat (3) Yang dimaksud dengan “hal-hal
tertentu”, antara lain, adalah penerbitan SBSN dalam rangka menutup kekurangan
pembiayaan anggaran, pembangunan proyek, dan/atau pengelolaan portofolio Surat
Berharga Negara menjelang akhir tahun anggaran karena pertimbangan kondisi dan
perkembangan pasar keuangan yang tidak dapat diantisipasi sebelumnya sehingga
jumlah Nilai Bersih Maksimal Surat Berharga Negara yang telah disetujui
terlampaui. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Semua
kewajiban Imbalan dan Nilai Nominal yang timbul akibat penerbitan SBSN
dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara setiap tahun sampai
dengan berakhirnya kewajiban tersebut. Perkiraan dana yang perlu dialokasikan
untuk pembayaran kewajiban untuk satu tahun anggaran disampaikan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat untuk diperhitungkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara tahun yang bersangkutan. Ayat (4) Pada saat jatuh tempo, pembayaran
kewajiban Imbalan dan Nilai Nominal dapat melebihi perkiraan anggaran disebabkan
oleh, antara lain, perbedaan perkiraan kurs, dan/atau tingkat Imbalan. Ayat (5)
Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) … - 8 - Ayat (2) Huruf a
Yang dimaksud dengan “tanah dan/atau bangunan” termasuk proyek yang akan atau
sedang dibangun. Huruf b Yang dimaksud dengan “selain tanah dan/atau bangunan”
dapat berupa barang berwujud maupun barang tidak berwujud yang memiliki nilai
ekonomis dan/atau memiliki aliran penerimaan kas. Ayat (3) Menteri selaku
Pengelola Barang Milik Negara menetapkan secara rinci jenis, nilai, dan
spesifikasi Barang Milik Negara yang akan dijadikan sebagai Aset SBSN. Menteri
dapat menerbitkan pernyataan mengenai status kepemilikan, penggunaan, dan
penguasaan Barang Milik Negara yang telah tercantum dalam Daftar Barang Milik
Negara, dalam hal belum tersedia Sertifikat Hak Pakai atau bukti kepemilikan
lain atas Barang Milik Negara yang akan dijadikan sebagai Aset SBSN. Pasal 11
Ayat (1) Pemindahtanganan Barang Milik Negara bersifat khusus dan berbeda
dengan pemindahtanganan Barang Milik Negara sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Sifat
pemindahtanganan dimaksud, antara lain: (i) penjualan dan/atau penyewaan
dilakukan hanya atas Hak Manfaat Barang Milik Negara; (ii) tidak terjadi
pemindahan hak kepemilikan (legal title) Barang Milik Negara; dan (iii) tidak
dilakukan pengalihan fisik Barang Milik Negara sehingga tidak mengganggu
penyelenggaraan tugas Pemerintahan. Penjualan dan penyewaan Hak Manfaat Barang
Milik Negara dilakukan dalam struktur SBSN Ijarah. Cara lain yang sesuai dengan
Akad yang digunakan dalam rangka penerbitan SBSN antara lain, penggunaan Barang
Milik Negara sebagai bagian penyertaan dalam rangka kerja sama usaha dalam
struktur SBSN Musyarakah (partnership). Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) … - 9 -
Ayat (3) Penggunaan Barang Milik Negara sebagai Aset SBSN tidak mengurangi
kewenangan instansi pengguna Barang Milik Negara untuk tetap menggunakan Barang
Milik Negara dimaksud sesuai dengan penggunaan awalnya, sehingga tanggung jawab
untuk pengelolaan Barang Milik Negara ini tetap melekat pada instansi pengguna
Barang Milik Negara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pemberitahuan tersebut bukan merupakan permintaan persetujuan atau
pertimbangan. Ayat (4) Berdasarkan struktur SBSN Akad Ijarah-Head Lease and Sub
Lease, jangka waktu penyewaan Aset SBSN dari Pemerintah kepada Perusahaan
Penerbit SBSN lebih panjang dari jangka waktu penyewaan Aset SBSN dari
Perusahaan Penerbit SBSN kepada Pemerintah. Pasal 12 Ayat (1) Akad penerbitan
SBSN lainnya adalah Akad selain SBSN yang menggunakan Akad Ijarah antara lain
SBSN yang menggunakan Akad Musyarakah, Mudarabah, dan Istishna’. Ayat (2)
Kewajiban pembayaran lain sesuai Akad penerbitan SBSN antara lain berupa sisa
Nilai Nominal SBSN yang pelunasannya dilakukan dengan cara amortisasi dan
Imbalan yang belum dibayarkan. Pasal 13 Ayat (1) Pemerintah dapat mendirikan
lebih dari 1 (satu) Perusahaan Penerbit SBSN sesuai dengan kebutuhan. Ayat (2)
Mengingat Perusahaan Penerbit SBSN memiliki karakteristik khusus yang berbeda
dengan badan hukum Perseroan Terbatas, Yayasan ataupun bentuk badan hukum lain
yang dikenal di Indonesia selama ini, maka perlu dibentuk badan hukum khusus
sesuai Undang-Undang ini untuk dapat mengakomodasi karakteristik dan tujuan
pembentukan Perusahaan Penerbit SBSN dimaksud. Ayat (3) … - 10 - Ayat (3) Cukup
jelas. Ayat (4) Pertanggungjawaban dimaksud hanya terkait dengan operasional
Perusahaan Penerbit SBSN dan pelaksanaan penerbitan SBSN. Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 14 Ayat (1) Pihak lain yang dapat ditunjuk sebagai Wali Amanat, antara
lain, adalah lembaga keuangan yang telah mendapat izin dari otoritas yang
berwenang dan lembaga lain yang dapat melakukan fungsi sebagai Wali Amanat.
Ayat (2) Perusahaan Penerbit SBSN sebagai Wali Amanat pada dasarnya
melaksanakan suatu kewajiban hukum yang timbul akibat adanya pengalihan
kepemilikan Hak Manfaat atas suatu aset dari Pemerintah kepada pihak lain yang
bertindak sebagai Wali Amanat untuk kepentingan pemegang SBSN selaku penerima
manfaat. Ayat (3) Pihak lain yang dapat ditunjuk untuk membantu pelaksanaan
fungsi sebagai Wali Amanat, antara lain, adalah lembaga keuangan yang telah
mendapat izin dari otoritas yang berwenang dan lembaga lain yang dapat
melakukan fungsi sebagai Wali Amanat. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup
jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 … - 11 - Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d
Cukup jelas. Huruf e Apabila diatur di dalam Akad, Menteri dapat melakukan
pembelian kembali SBSN, baik yang diterbitkan secara langsung oleh Pemerintah
maupun melalui Perusahaan Penerbit SBSN, sebelum jatuh tempo. Pembelian kembali
atas sebagian dari Nilai Nominal SBSN tidak disertai dengan pembatalan Akad
penerbitan SBSN. Huruf f Pelunasan sebagian atau seluruh Nilai Nominal SBSN,
baik yang diterbitkan secara langsung oleh Pemerintah maupun melalui Perusahaan
Penerbit SBSN sebelum jatuh tempo, hanya dapat dilakukan apabila diatur di
dalam Akad. Huruf g Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 19 … - 12 - Pasal
19 Ayat (1) Menteri membuka rekening yang diperlukan baik untuk menampung hasil
penjualan SBSN maupun untuk menyediakan dana bagi pembayaran Imbalan dan Nilai
Nominal SBSN. Ayat (2) Tata cara pembukaan dan pengelolaan rekening yang
dimaksud dalam ayat ini mengikuti ketentuan perundang-undangan di bidang
perbendaharaan negara, sedangkan tata cara pembukaan rekening di Bank Indonesia
mengikuti ketentuan Bank Indonesia. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2) Penunjukan pihak lain oleh Bank Indonesia sebagai agen
penata usaha untuk melaksanakan kegiatan penatausahaan, harus terlebih dahulu
berkoordinasi dengan Menteri dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan
di bidang pasar modal. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Laporan
pertanggungjawaban kepada Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat ini
disampaikan kepada Menteri. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Lelang SBSN
dilaksanakan oleh Bank Indonesia sampai pada saat Pemerintah dinilai telah siap
serta mampu secara teknis untuk melaksanakan lelang secara sendiri atau bersama
Bank Indonesia. Pasal 24 … - 13 - Pasal 24 Dalam ketentuan penerbitan dan
penjualan SBSN, antara lain, diatur ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan penerbitan
dan penjualan, termasuk kriteria peserta lelang SBSN baik yang diterbitkan
secara langsung oleh Pemerintah maupun melalui Perusahaan Penerbit SBSN. Pasal
25 Yang dimaksud dengan “lembaga yang memiliki kewenangan dalam menetapkan
fatwa di bidang syariah” adalah Majelis Ulama Indonesia atau lembaga lain yang
ditunjuk Pemerintah. Pasal 26 Pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan
perdagangan SBSN dimaksudkan untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan
pemodal dan para pelaku pasar. Kedua hal tersebut diperlukan agar kegiatan
perdagangan SBSN dapat dilaksanakan secara efisien dan sehat. Pengaturan
dilaksanakan melalui penerbitan berbagai ketentuan, antara lain, mengenai
transparansi data dan informasi penerbitan serta mengenai tata cara perdagangan
SBSN. Pengaturan dan pengawasan merupakan upaya untuk memperoleh keyakinan akan
ketaatan para pelaku pasar terhadap ketentuan yang berlaku. Pasal 27 Ayat (1)
Penatausahaan mencakup kegiatan administrasi dan akuntansi semua transaksi yang
berkaitan dengan pengelolaan SBSN. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas.
Pasal 29 Permintaan data dan informasi mengenai SBSN kepada Bank Indonesia atau
pihak lain yang ditunjuk sebagai agen penata usaha SBSN dilakukan secara
tertulis. Pasal 30 … - 14 - Pasal 30 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “SBSN tiruan
atau SBSN palsu” adalah surat berharga yang sengaja diterbitkan dengan bentuk
yang mirip atau sama dengan SBSN yang sah, dengan tujuan untuk mendapatkan
keuntungan baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Pemalsuan data dalam
perdagangan SBSN tanpa warkat, termasuk tindakan pemalsuan sebagaimana dimaksud
dalam pasal ini. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup
jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4852
Sumber :